Kamis, 04 Maret 2010

Edukasi dan Penolakan Pasien ADHD

Menjelaskan pada seorang remaja yang terkena ADHD tentang kondisinya merupakan hal yang tidak gampang. Kurang mengertinya pasien akan kondisinya akan menyebabkan penolakan terhadap terapi. Namun di sisi lain, terlalu berlebihannya edukasi dokter, akan menyebabkan takutnya pasien dan berujung juga pada penolakan terhadap terapi.
Semua individu dengan ADHD perlu memiliki pengertian dasar tentang kelainan ini, termasuk fakta bahwa kelainan ini adalah kelainan neurobiological. Sangat membantu sekali untuk menyingkirkan stigma ADHD sama dengan penyakit seperti asma atau lainnya. Dengan edukasi ini, dapat membantu mengurangi rasa kurang beruntung lahir dalam keadaan seperti itu. Namun, bagaimanapun juga individu dengan ADHD dapat membuat hidup seorang individu terbatas, kecuali segera mendapat penanganan. Orang-orang dengan kelainan ini perlu terus diingatkan bahwa mereka tidak buruk, rusak, bodoh, atau cacat mental, mereka hanya individu yang perlu pertolongan dalam beberapa hal. Individu dengan ADHD tidak berbeda dengan yang lain. Penting juga untuk memberitahukan remaja yang terkena ADHD bahwa ADHD tidak menunjukkan intelegensi mereka.
Remaja dengan ADHD mungkin akan berlaku negatif terhadap pengobatan. Dalam penelitiannya pada 358 anak dengan ADHD, Pelham, Molina, dkk melaporkan bahwa penggunaan terapi psychoactive makin tidak populer dalam terapi anak remaja sesudah pendidikan SD. Pada sampel yang mereka ambil, 87% anak yang mendapat terapi psycoactive, 27,9% berhenti pada umur 11 tahun dan 67,9% berhenti pada umur 15 tahun. Umur menjadi faktor penting dalam pemberian terapi, karena anak yang berumur lebih tua, cenderung untuk tidak melanjutkan terapi. Hal ini bisa dikarenakan kontrol yang kurang, kecuali dokter secara aktiv memonitor. Hal ini juga bisa dikarenakan anak remaja merasa tidak sakit jadi tidak perlu berobat. Beberapa faktor yang berpengaruh pada kelanjutan terapi adalah konsep akan ADHD, eratnya hubungan antar anggota keluarga, motivasi untuk sembuh, kontrol yang teratur, pemberian obat yang sederhana, efek samping yang sedikit, dan hubungan dokter-pasien. Motivasi dari dokter pada pasien remaja untuk sembuh, mempengaruhi keputusan pasien remaja dalam mengkontrol dirinya dalam menjalani terapi.

Sumber : dr.Ricki Rajagukguk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar